APA YANG TERJADI PADA TUBUH SETELAH KEMATIAN



Kematian—merupakan hal yang pasti berlaku pada setiap yang mengaku dirinya makhluk hidup. Yang membedakan ialah kapan, dimana dan bagaimana kematian itu menyapa. Faktanya bahwa 100 orang meninggal setiap menitnya di berbagai belahan bumi ini. 

Tetapi pernakah anda bertanya apa yang terjadi pada tubuh seseorang ketika ia telah meninggal. Tentu saja kami mempercayai kehidupan setelah kematian serta hari pembalasan, namun artikel ini disusun bukan untuk membahas hal itu, tetapi lebih kepada bagaimana tubuh seseorang terurai dan akhirnya kembali menjadi tanah. Selain itu, tujuan lain dari disusunya artikel ini ialah agar kita manusia tidak perlu terlalu berbangga diri dengan keelokan, kegagahan serta kesempurnaan tubuh yang kita miliki saat ini. Karena ujungnya kita akan berubah menjadi seburuk-buruk bentuk seperti yang akan dibahas dalam artikel berikut.


Dalam pembahasan bagaimana tubuh seseorang yang telah meninggal terurai, kami membaginya dalam beberapa tahap sebagaimana berbagai sumber yang kami dapati dan setiap tahap mewakili waktu kematian tertentu. 

#Tahap Pertama: Self-Digestion (Proses penghancuran diri)

Sesaat setelah jantung seseorang berhenti berdetak, sel-sel tubuh mulai kekurangan oksigen yang menyebabkan suplai oksigen ke otak ikut berhenti. Hal ini menyebabkan otak berhenti bekerja, dimana neuron-neuron di otak mulai rusak dan menyebabkan kacaunya produksi hormon dan fungsi organ tubuh yang lain. Sebagaimana kita tahu bahwa semua fungsi koordinasi berasal dari otak, jadi jika otak mati maka semua fungsi organ ikut mati, salah satu contohnya ialah tubuh mayat tidak lagi memiliki kemampuan untuk mengeksresikan sisa fesses dari dalam tubuh, sehingga perlu dilakukan secara manual (biasanya ketika dimandikan). Bersamaan dengan hal itu, kurangnya oksigen pada sel tubuh juga menimbulkan reaksi kimia yang meningkatkan kadar keasamaan sel tubuh itu sendiri. Organ yang pertama kali mengalami hal ini biasanya hati yang memiliki kadar enzim paling banyak lalu kemudian otak yang memiliki kandungan air paling besar, menyusul organ-organ lainnya. Pada saat ini juga suhu tubuh mulai menurun mendekati suhu ruangan, yang para ahli menyebut peristiwa ini sebagai Algor Mortis.
Beberapa menit setelah kematian : Sel darah yang rusak mulai tumpah/keluar dari jalur peredaran pembuluhnya (yang juga ikut rusak) menuju ke bagian dasar tubuh. Hal itu dikarenakan sel-sel darah tidak lagi dikontrol oleh jantung (karena telah mati) tetapi oleh gravitasi. Menyebabkan bagian teratas tubuh menjadi pucat akibat tidak adanya darah.
Beberapa jam setelah kematian (3-6 jam) : Fenomena Rigor Mortis—Kekakuan Tubuh—mulai terjadi, dimulai dari kelopak mata, rahang, otot leher, hingga ke tubuh dan lengan. Ketika masih hidup proses kontraksi dan relaksasi otot diatur oleh aksi dua filamen protein (aktin dan miosin), setelah mati dua filamen ini kehilangan sumber energi sehingga akhirnya mereka terkunci yang menyebabkan otot dan persendian ikut terkunci. Inilah yang menyebabkan kekakuan pada tubuh mayat dan ini terus bertahan hingga 24 sampai 48 jam ke depan. Data ini pula yang membantu tim forensik mayat memperkirakan waktu kematian seseorang.   Setelah 20-58 jam kematian : Bakteri baik berubah menjadi bakteri jahat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tubuh kita merupakan cenayang/wadah bagi begitu banyak bakteri; setiap permukaan dan sudut tubuh seseorang menyediakan habitat yang sangat baik bagi komunitas bakteri tertentu. Pada awalnya (sebelum mati) komunitas bakteri terbesar manusia terdapat pada ususnya, komunitas yang kami maksud disini ialah jutaan bakteri dari ribuan spesies berbeda.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gulnaz Javan, seorang ilmuwan ahli forensik dari Alabama State University di Montgomery mengatakan bahwa kebanyakan organ internal manusia sama sekali tidak memiliki mikroba ketika masih hidup. Namun segera setelah mati, sistem imun berhenti bekerja, yang membuat bakteri-bakteri itu menyebar dengan bebas ke seluruh tubuh. Biasanya dimulai di dalam usus, tepatnya pada sambungan diantara usus kecil dan usus besar. Bakteria yang ada di usus mulai memakan usus – dan setelah itu organ lain di sekitarnya – dari dalam menuju keluar, dengan menggunakan cairan kimia yang keluar dari sel-sel rusak sebagai sumber makananya. Kemudian mereka menginvasi pembuluh kapiler lalu sistem pencernaan dan kelenjar getah bening. Terus menyebar ke hati dan limpa, lalu ke jantung menuju ke otak.


 
#Tahap Kedua : Putrefaction (Proses Pembusukkan)

Beberapa hari setelah kematian ( 7 hari) : Setelah proses penghancuran diri (self digestion) mulai bekerja dan bakteri mulai melepaskan diri dari organ pencernaan, pembusukkan (putrefaction) pun terjadi. Dimulai dengan berubahnya jaringan lunak yang telah rusak yang menjadi gas, cairan dan larutan garam. Dan ini merupakan langkah awal dari proses dekomposisi/penguraian, tetapi dekomposisi itu akan benar-benar terjadi ketika bakteri anaerobik mulai bekerja. Pembusukkan erat kaitanya dengan proses pergantian spesies bakteri aerobik yang membutuhkan udara untuk berkembang, menjadi spesies bakteri anaerobik yang sama sekali tidak membutuhkan oksigen untuk tumbuh. Kemudian spesies bakteri anaerobik tersebut  mulai memakan jaringan tubuh, memfermentasi kandungan gula yang ada di dalamnya untuk menghasilkan gas-gas seperti metan, hidrogen sulfida, amonia, yang semuanya terakumulasi di dalam tubuh, yang membuat abdomen (rongga perut) dan kadang-kadang juga anggota tubuh yang lain menjadi membengkak.
Akibat rusaknya sel-sel darah yang kemudian merembes keluar dari pembuluhnya yang juga ikut rusak, bakteri anaerobik mengubah molekul-molekul hemoglobin yang dulunya berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh, menjadi sulfhaemoglobin. Kehadiran molekul sulfhaemoglobin di dalam tubuh membuat kulit menjadi memar dan hitam kehijau-hijaun pada beberapa anggota tubuh (hal ini merupakan karakteristik dari aktifnya proses dekomposisi/penguraian).
Akibat tekanan gas yang semakin meningkat di dalam tubuh, menyebabkan seluruh permukaan kulit melepuh. Hal ini diikuti dengan longgarnya lapisan kulit dan akhirnya jatuh terkelupas, menyisakkan sedikit saja dan menampilkan bagian yang tampak lebih buruk di bagian bawahnya. Segera setelah itu terjadi, gas-gas dan organ-organ yang telah mencair keluar dari dalam tubuh, biasanya mengalir melalui anus dan lubang-lubang yang lain. Kebanyakan pula keluar melalui kulit yang telah mati. Terkadang, tekanan gas itu sangat kuat menyebabkkan abdomen meletus (terbuka).

#Tahap Ketiga : Colonisation (Kolonisasi)

Setelah seminggu kematian ( 7 hari) : Mayat yang mengalami dekomposisi dan pembusukkan akan mengundang berbagai koloni mikroba, serangga bahkan burung pemakan bangkai yang semuanya membentuk ekosistem baru.
Lalat merupakan serangga yang sering dikaitkan dengan proses dekomposisi (walaupun tidak semua jenis lalat). Ketika mayat mengeluarkan bau busuk, maka lalat mulai mendeteksi bau ini (menurut mereka bau ini ialah bau yang teramat manis) menggunakan reseptor yang ada pada antena di kepala mereka. Setelah mereka menemukan sumber bau, mereka mulai meletakkan telur-telur mereka di atas permukaan tubuh mayat yang terbuka atau pada luka-luka yang menganga. Setiap lalat membawa sekitar 250 telur yang menetas dalam waktu 24 jam, dan tumbuh menjadi belatung kecil. Mereka memakan daging pada tubuh mayat dan tumbuh menjadi belatung besar. Setelah merasa cukup belatung-belatung itu menggeliat meninggalkan tubuh mayat. Lalu mereka membuat kepompong kemudian berubah menjadi lalat, dan proses ini terus berulang sampai tidak ada lagi bagian dari mayat yang bisa dimakan oleh mereka.
Pada kondisi normal, tubuh mayat yang terurai memiliki jumlah koloni belatung yang cukup besar. Kawanan ini berkumpul dan saling merapat hingga bagian dalam kawanan tersebut dapat mencapai suhu 100 C. Sama seperti cara penguin menghangatkan diri, hanya saja penguin terus berkerumun dan tidak bergerak sementara belatung ini akan terus bergerak untuk mendinginkan suhu yang telah mereka ciptakan sendiri. 
Katidakhadiran burung pemakan bangkai, membuat belatung bertanggung jawab penuh menghabiskan jaringan-jaringan lunak si mayat (60 % dari total tubuh mayat). Menurut penelitian tiga ekor lalat dapat mengkonsumsi seekor mayat kuda secepat seekor singa melakukanya.
Pada tahap selanjutnya para belatung akan menyingkir/bermigrasi dari tubuh mayat dalam jumlah yang sangat besar, seringkali dengan rute yang sama. Aktivitas yang mereka lakukan sangatlah teliti dan teratur yang mana jejak mereka dapat terlihat ketika setelah proses penguraian selesai,  seperti  jejak geliatan mereka di atas tanah yang keluar dari tubuh mayat.

#Tahap Ke Empat : Purge (Pembersihan)
Satu sampai tiga bulan setelah kematian : Bagian-bagian yang disisakan oleh belatung ialah jaringan kasar, seperti rambut, kuku dan tulang-tulang. Tentu saja dalam tahap ini jaringan-jaringan tersebut tidaklah lagi terhubung satu sama lain. Saat ini tubuh yang tidak mengandung air akan melepas 32 g nitrogen, 10 g fosfor, 4 g potasium dan 1 g magnesium ke dalam tanah. Sehingga akan menarik perhatian jamur, protozoa dan beberapa jenis serangga lainnya. Tahap ini juga sering disebut ‘dry decay’ atau peluruhan zat-zat kering. Proses ini akan terus berlangsung hingga setahun kemudian, namun akan berjalan lebih cepat tergantung temperatur.

#Tahap Ke Lima : Recycle
Setelah setahun kematian : Yang tersisa dari tubuh hanyalah tulang belulang, menurut penelitian ialah bagian dari tulang belakang. Dan yang bertahan paling akhir adalah bagian tulang ekor (sulbi) dari manusia itu sendiri. Terlepasnya zat-zat tertentu dari tubuh mayat dapat membuat vegetasi tanaman di sekitarnya menjadi lebih baik. Bahkan tanah yang menjadi kuburan mayat memiliki kekyaan organik yang begitu melimpah. Walaupun pada awalnya tanah menjadi tidak subur akibat racun nitrogen atau antibiotik tubuh yang terlepas ke tanah, seiring berjalannya waktu hal itu dapat teratasi oleh proses penguraian yang lebih lanjut.
Menurut hukum termodinamika, sekali energi diciptakan oleh Yang Maha Kuasa maka oleh manusia energi tersebut tidaklah dapat dimusnahkan atau diciptakan energi yang serupa, tetapi manusia hanya mampu mengubahnya dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Jika kita menganggap bahwa tubuh manusia sebagai kumpulan berbagai massa energi, maka ketika tubuhnya terurai maka sesungguhnya energi itu berpindah ke bentuk yang lain yang akhirnya dimanfaatkan oleh makhluk-makhluk hidup lain yang ada di sekitarnya.
Tahapan-tahapan di atas merupakan tahapan dalam kondisi normal. Faktor-faktor lain seperti temperatur dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya proses dekomposisi mayat. Contohnya mayat yang berada suhu sangat dingin akan lambat terurai, sebaliknya pada kondisi panas akan mempercepat proses dekomposisi.

#Tambahan : Penduduk mesir kuno belajar bagaimana lingkungan dapat memengaruhi penguraian. Dalam periode pradinasti, sebelum mereka mulai membangun peti mati dan makam, mereka membungkus tubuh orang mati mereka menggunakan linen dan menguburkannya langsung ke dalam pasir. Panas menghalangi aktivitas mikroba, sementara penguburan mencegah serangga dari menjangkau tubuh, jadi mereka dapat lebih awet. Setelahnya, mereka mulai membangun pemakaman untuk orang mati, dengan tujuan menyediakan tempat yang lebih layak, tapi hal ini justru menimbulkan efek sebaliknya—memisahkan tubuh dari pasir sejatinya mempercepat penguraian. Dan akhirnya mereka menemukan cara membalsem dan memumifikasi mayat.

Membalsem termasuk membalut tubuh dengan cairan kimia membuat proses dekomposisi menjadi lambat. Masyarakat mesir kuno yang bertugas membalsem pertama-tama akan mencuci tubuh si mayat dengan cairan minyak kelapa dan dengan air sungai Nil, dan mengeluarkan banyak oragn tubuhnya termasuk otak melalui lubang telinga atau lubang yang lain menggunakan kail panjang. Lalu ia akan menyelimuti seluruh tubuh mayat dan membiarkanya kering selama 40 hari. Awalnya, organ yang dikeluarkan di tempatkan pada guci di samping tubuh mayat, namun akhirnya tubuhnya dibungkus bersama-sama organ tersebut. 

Proses pembalseman dengan tujuan mengawetkan mayat masih banyak diterapkan hingga saat ini. Selain untuk mempersiapkan mayat melalui proses upacara pemakaman yang memakan waktu yang cukup lama, terdapat juga alasan pribadi bagi sebagian kalangan masyarakat. Namun, perlu diingat pembalseman atau usaha lain mengawetkan mayat hanyalah menunda penguraian/dekomposisi bukan menghentikanya. Dengan kata lain manusia tetap akan melebur bersama alam sekitarnya cepat atau lambat.

Seorang ahli mengatakan : Tubuh kita, pada akhirnya, hanyalah terbuat dari energi yang terbungkus rapat dalam segumpal materi yang menunggu untuk dilepaskan/diuraikan ke alam semesta yang lebih luas.

Semoga artikel ini bukan hanya menambah wawasan tetapi juga keimanan kita.

Peace.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cara Memahami Konsep Dilatasi Waktu dengan Mudah

Sejarah Besaran Panjang

Bagaimana Dilatasi Waktu Dapat Menghambat Laju Usiamu